FAMILY BUSINESS INSIGHT

Strategi Inovasi GMCR: Rahasia di Balik Sukses Kopi dan Mesin Keurig

Belum lama ini, Green Mountain Coffee Roasters, Inc. (GMCR), sebuah perusahaan kopi dan mesin pembuat kopi yang bermarkas di Waitsfeld, Vermont, Amerika Serikat (AS), mengumumkan relokasi Keurig, anak perusahaannya yang berbasis di Massachusetts, ke sebuah kompleks kantor di Burlington, Mass. Lokasi yang baru disewa ini cukup luas untuk mendukung usaha-usaha inovasi dan kapabilitas pengembangan produk perusahaan. Menurut Michelle Stacy, President Keurig, dengan hadirnya kampus baru ini perusahaan akan lebih mudah mengkonsolidasikan sumberdayanya dalam satu lokasi. Kolaborasi antara anggota tim lintas bagian diharapkan akan semakin padu. Dan pada saat yang sama, perusahaan dapat memperbesar ruang sekaligus meningkatkan fungsinya untuk aktivitas penelitian dan pengembangan (R&D). Desain dan layout kampus sengaja dirancang sedemikian rupa sehingga akan tercipta iklim yang akan memperkuat budaya GMCR dan merek Keurig,  dan menumbuhkembangkan kerjasama tim. Di kampus baru ini tentu akan disediakan ruang untuk mendukung program pendidikan dan pelatihan berkelanjutan bagi para karyawan, yang menjadi aspek penting dalam budaya dan filosofi GMCR. Selain di Massachusetts sekarang, GMCR juga memiliki fasilitas R&D di Waterbury, Vermont, dan Montreal, Kanada. GMCR, yang didirikan tahun 1981 dan peraih penghargaan dua tahun berturut-turut sebagai “Best Corporate Citizen”,  juga memiliki fasilitas produksi dan distribusi diantaranya di Castroville, California; Knoxville, Tennessee; Toronto, dan Ontario, keduanya di Kanada. Keuring, pembuat mesin kopi yang menjadi anak perusahaan GMCR sejak tahun 2006, selama dua tahun berturut-turut dinobatkan sebagai sebagai salah satu tempat kerja paling top di Massachusetts dalam survei tahunan yang dilakukan oleh The Boston Globe.

GMCR agaknya sadar akan pentingnya inovasi demi meningkatkan dan mempertahankan pertumbuhan dan daya saing. Memang tak perlu diragukan lagi, inovasi terbukti menjadi mesin pendorong pertumbuhan serta kesuksesan perusahaan, terutama perusahaan-perusahaan kelas dunia macam Google, Apple, Samsung, Honda, Procter & Gamble (P&G), dan sebagainya. Namun untuk mencapainya tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Maka tak heran bila tingkat kegagalan inovasi tergolong tinggi.

Salah satu hal yang wajib diperhatikan perusahaan agar sukses dalam berinovasi adalah terkait masalah strategi. Menurut Rothaermel dan Hess, strategi yang paling efektif guna mencapai inovasi yang berkelanjutan adalah merekrut, menumbuhkembangkan, serta mempertahankan karyawan-karawan bertalenta tinggi sehingga mampu mempelopori inovasi. Strategi ini, disamping memungkinkan  perusahaan untuk tidak tergantung kepada pihak luar dalam berinovasi, juga sulit ditiru oleh pesaing. Bisa menjadi andalan jika perusahaan telah mampu menerapkan manajemen sumber daya manusia (SDM) yang unggul.

Strategi berikutnya yang dapat ditempuh adalah meningkatkan pengeluaran untuk  kegiatan R&D. Keuntungan strategi ini, ungkap Rothaermel dan Hess, adalah memungkinkan terinternalisasinya keterampilan dan kapabilitas perusahaan. Dalam konteks ini, internalisasi terkait dengan proses pembelajaran (learning), semisal belajar mengenai ide-ide dan keterampilan baru untuk kemudian dimanfaatkan demi kemajuan perusahaan. Namun risiko yang dihadapi tinggi mengingat inovasi tidak selalu membuahkan hasil yang diharapkan. Hasil inovasi juga tidak serta merta meningkatkan kinerja perusahaan, paling tidak dalam jangka pendek. Oleh karenanya, strategi ini mensyaratkan toleransi yang lebih tinggi terhadap risiko.

Di samping menumbuhkembangkan karyawan bertalenta tinggi dan meningkatkan pengeluaran untuk R&D, tidak sedikit perusahaan yang menjalin aliansi dengan perusahaan lain guna mewujudkan rencana inovasinya. Dengan melakukan aliansi, risiko inovasi ditanggung bersama. Perusahaan juga dapat menghemat sumber daya, memanfaatkan kompetensi pihak lain, dan menjangkau akses pasar dengan lebih mudah. Kerugiannya, jika inovasi mampu menuai hasil positif, hasilnya harus dibagi dengan perusahaan mitra. Tujuan dan sasaran perusahaan yang beraliansi juga harus selaras.

Banyak pula dijumpai perusahaan yang meski beraliansi dengan perusahaan lain namun pada saat yang sama meningkatkan pengeluaran R&D-nya. Ini karena pengetahuan internal yang dimiliki menjadikan perusahaan lebih siap mengenali area-area penelitian yang menjanjikan sehingga mereka dapat memilih mitra yang dianggap paling cocok. Pengetahuan internal juga membantu perusahaan memahami dengan lebih baik informasi yang saling dibagi dengan mitra, sehingga perjanjian yang akan dibuat nantinya dapat lebih efisien.

Sebuah perusahaan dapat juga menempuh strategi inovasinya dengan mengakuisisi perusahaan lain. Melalui strategi ini, perusahaan dapat tumbuh lebih cepat. Namun masalah integrasi budaya dapat menjadi pengganjal kesuksesan sehingga memerlukan perhatian khusus. Perusahaan juga harus pandai-pandai memilih sasaran akuisisi.

Perusahaan tentu bebas memilih atau memadukan strategi-strategi inovasi yang ada. Namun, apapun strategi yang dipilih, perlu diingat bahwa hasil sebuah inovasi acap baru dapat dinikmati dalam jangka panjang.  Artinya ada saat-saat tertentu dimana perusahaan harus rela kinerja keuangannya mengalami penurunan karena harus mengeluarkan uang banyak demi suksesnya inovasi. Dalam hal ini, perusahaan wajib memiliki orientasi jangka panjang. Di samping itu, perusahaan juga harus memiliki fleksibilitas, artinya struktur organisasi, sistem, proses, dan strategi dalam perusahaan.

Patricia Susanto
CEO of The Jakarta Consulting Group

Related Articles