FAMILY BUSINESS INSIGHT

Mengatasi Burnout dalam Bisnis Keluarga

Salah satu keunikan sebuah bisnis keluarga adalah adanya hubungan resiprokal antara bisnis dan keluarga. Artinya, perkembangan bisnis berpengaruh terhadap hubungan keluarga. Begitu pula sebaliknya. Ada pula faktor legasi. Penerus diharapkan mampu menjadikan bisnis orangtuanya terus berjaya. Kondisi ini kerap membuat orang yang berkiprah dalam bisnis keluarga mengalami stres dan kelelahan (burnout). Ada tekanan dari dua sisi: bisnis dan keluarga.  Isu stres dan kelelahan ini perlu ditangani dengan baik demi  kesejahteraan individu, keluarga, dan perusahaan.

Burnout adalah adalah kondisi kelelahan emosional, fisik, dan mental yang disebabkan oleh stres yang berlebihan dan berkepanjangan. Kondisi ini terjadi ketika Anda merasa kewalahan, terkuras secara emosional, dan tidak mampu memenuhi tuntutan yang terus-menerus. Dalam bisnis keluarga, faktor apa sajakah yang mengakibatkan burnout? Yang banyak dijumpai adalah satu anggota keluarga harus memainkan berbagai peran, mulai dari direktur, karyawan, saudara, orangtua, anak atau keponakan.  Ini tentunya tidak terjadi di bisnis nonkeluarga. Banyaknya peran ini kerap menimbulkan dilema.  Bagaimanakah seharusnya menghadapi anak yang bermasalah sedangkan sang anak bekerja dalam bisnis keluarga? Bagaimanakah menghadapi orangtua yang tidak mau berubah? Belum lagi masalah operasional perusahaan dan banyak lagi. Faktor eksternal seperti pandemi Covid-19 lalu dan kondisi ekonomi yang tidak pasti turut memperparah burnout.

Berikutnya, masalah work life balance. Banyak anggota bisnis keluarga yang seolah tanpa henti memikirkan pekerjaannya selama 24 jam, 7 hari. Saat berlibur dan menjelang istirahat pun yang dipikirkan adalah bisnis. Waktu untuk bersantai nyaris tidak ada.

Lingkungan kerja yang terdiri dari beberapa generasi juga bisa menimbulkan stress. Tak jarang dijumpai ada kakek/nenek, anak, dan cucu yang bersama-sama mengurus bisnis keluarga. Tiap generasi memiliki gaya memimpin, gaya bekerja dan gaya komunikasinya masing-masing. Belum lagi soal visi dan strategi, Jika tidak ditangani dengan baik, bisa menimbulkan friksi. Ini tentunya menimbulkan kelelahan.

Pertikaian antaranggota keluarga juga akan menimbulkan burnout. Apalagi jika sampai berdarah-darah dan dibawa ke ranah hukum. Faktor yang juga sering dijumpai adalah harapan yang begitu tinggi kepada penerus untuk menjaga bisnis keluarga. Ini tentunya menambah beban si penerus. Apalagi jika penerus meneruskan bisnis kelaurga karena semata-mata memenuhi kewajiban, bukan lantaran keinginan yang berasal dari dalam hati.

Faktor-faktor lain penyebab burnout adalah kurangnya hubungan positif dengan orang lain di tempat kerja, tidak adanya dukungan masyarakat, beban kerja yang berlebihan, dan ketidaksesuaian nilai-nilai.

Adapun tanda seseorang mengalami burnout adalah tidak lagi mampu mengemban tanggung jawab, gejala fisik; demotivas; tidak lagi sekreatif, seproduktif, dan sematang sebelumnya dalam membuat Keputusan; malas hadir saat ada acara kumpul keluarga; dan mudah marah sehingga menyulut perselisihan dengan orang lain.

Lantas, bagaimanakah cara mengatasi burnout dalam bisnis keluarga? Paling utama, peran dan tanggung jawab semua anggota keluarga harus diatur dengan jelas. Harus jelas siapa melakukan apa. Jangan sampai anggota keluarga melakukan terlalu banyak hal, atau melakukan hal-hal yang tidak ada manfaat yang jelas bagi perusahaan.

Berikutnya, anggota keluarga tak perlu berbicara dan memikirkan bisnis terus menerus. Terutama saat sedang berlibur atau sedang berkumpul dengan keluarga masing-masing.. Dengan kata lain, harus ada pemisahan yang lebih tegas antara kehidupan professional dengan kehidupan pribadi.

Anggota keluarga adalah manusia yang tentunya dapat mengalami frustrasi, kekecewaan, dan kekhawatiran. Mereka pun punya gagasan aagar kehidupan keluarga dan perusahaan lebih baik. Akan sangat bermanfaat jika anggota keluarga memiliki wadah untuk mengekspresikan hal-hal di atas. Pertemuan keluarga dapat menjadi wadah untuk hal ini.

Anggota keluarga harus berkomitmen menjaga kesehatannya masing-masing. Terutama kesehatan fisik, misalnya dengan rajin berolahraga, mekan dengan gizi seimbang, dan tidur yang cukup. Banyak penelitian menunjukkan bahwa tidur dan olahraga yang cukup bermanfaat bagi tubuh dan otak, mendorong pertumbuhan saraf baru dan melindungi sel-sel otak dari stres.

Setiap organisasi pasti pernah mengalami konflik. Namun dalam bisnis keluarga, situasinya lebih rumit karena kerap melibatkan hal-hal yang sifatnya pribadi. Oleh karenannya, manajemen konflik dalam bisnis keluarga sejak dini sangat penting untuk menghindari burnout.

Transparansi, kolaborasi, dan keadilan menjadi budaya yang harus dikembangkan dalam bisnis keluarga. Sayangnya, masih banyak bisnis keluarga yang mengabaikannya.  Akibatnya, banyak yang merasa diperlakukan dengan tidak semestinya dan terombang ambing dalam ketidakjelasan.

Kesuksesan sekecil apa pun sudah selayaknya dirayakan dalam batas-batas  yang wajar. Hal ini berlaku pula dalam bisnis keluarga. Hal ini bukan saja menyuntikkan semangat bagu, melainkan juga mengingatkan keluarga akan visi bersama.

Tidak ada salahnya bisnis keluarga meminta bantuan pihak eksternal. Mereka akan menawarkan sudut pandang dan wawasan baru dalam memahami masalah. Hal ini akan memudahkan perusahaan mengatasi aneka masalah, termasuk burnout.

Related Articles