FAMILY BUSINESS INSIGHT

Perjalanan Joyce Chou dalam Mengelola Sabrina Fashion: Tantangan, Peran Senior, dan Succesion Planning

Di usianya yang ke-44, Joyce Chou seolah masih tak percaya dirinya menduduki kursi pimpinan perusahaan keluarga yang dirintis orang tuanya. Padahal, tadinya ia tidak berencana bergabung dengan perusahaan orang tuanya. Ia bahkan sama sekali tidak tertarik.

Kedua orang tua Joyce adalah pemilik Sabrina Fashion Industrial Corporation (selanjutnya disebut Sabrina), sebuah perusahaan manufaktur pakaian olah raga di Taiwan. Sebenarnya saat masih muda, Joyce pernah membantu Sabrina, yaitu saat magang untuk mengisi liburan musim panas dan beberapa saat setelah lulus kuliah. Namun ia tidak pernah memasukkan Sabrina dalam daftar rencana kariernya. Ia lebih memfokuskan diri pada hal yang memang menjadi kesukaannya: mengembangkan pendidikan bagi anak-anak pra sekolah.

Saat bekerja di Sabrina setelah usai kuliah, ia menjadi asisten, tepatnya sebagai staf junior. Menurut Joyce, bisnis yang dijalankan orang tuanya sangat detail, ada saja masalah yang muncul tiap harinya, yang meski terlihat sepele namun tak boleh dipandang remeh. Ia merasa setiap orang, termasuk orang tua dan para staf perusahaan, mengawasi dengan seksama semua gerak-geriknya. Tekanan yang dialaminya cukup tinggi. Agaknya, lantaran faktor inilah Joyce merasa tidak cocok dan tidak ingin terlibat dalam bisnis Sabrina.

Namun semuanya berubah setelah ayahnya meninggal dunia karena penyakit Kanker dan ibunya jatuh sakit. Sang ibu tidak mau menjual perusahaan, malah membujuk Joyce untuk melanjutkan bisnis keluarga.

Joyce akhirnya bersedia. Namun masa-masa awal Joyce bergabung dengan Sabrina bukanlah masa-masa yang mudah meski ia adalah anak pendiri perusahaan. Ia harus berjuang keras untuk mendapatkan kepercayaan dan merebut hati para staf senior, yang telah bekerja selama beberapa dekade bersama orang tua Joyce. Joyce harus meyakinkan mereka tentang pentingnya perubahan sehingga bisnis dapat tetap tumbuh dan lebih maju. Mereka kurang mempercayai Joyce karena memandang Joyce masih muda dan kurang pengalaman.

Selama tiga tahun pertama, ia sempat merasa frustrasi sampai-sampai ia pernah meminta berhenti kepada ibunya. Para staf senior di perusahaan ingin melindungi Joyce serta melakukan hal-hal yang mereka anggap benar. Namun saat mengambilalih kepemimpinan, Joyce mempunyai ide-ide serta cara tersendiri dalam mengelola perusahaan.

Joyce kemudian memutuskan untuk belajar mengenai seluk-beluk industri yang digeluti Sabrina dari para staf senior yang semula meremehkannya. Strategi ini terbukti berhasil. Pabrik-pabrik baru dibuka, semisal di Vietnam dan Kamboja. Jumlah karyawan meningkat dua kali lipat, pendapatan melonjak hingga 50 %. Saat ini Sabrina memiliki kurang lebih 11 ribu karyawan.

Joyce dan Sabrina termasuk beruntung karena pada akhirnya dapat menjadi pemegang kendali perusahaan. Sabrina pun terus tumbuh dan maju. Padahal sebelumnya Joyce menghadapi kendala ketidakpercayaan dan resistensi dari karyawan senior, yang telah bertahun-tahun bekerja di Sabrina (baca: orang tua Joyce) dan menganggap mapan cara-cara lama.

Peran para karyawan senior ini tidak dapat diremehkan. Mereka turut bahu membahu mendirikan dan/atau membangun perusahaan sehingga memiliki hubungan erat dan kedekatan emosional dengan pendiri. Penulis menyebut para senior ini dengan ”perintis kemerdekaan”. Nilai-nilai yang ditanamkan oleh pendiri sudah mendarah daging dalam diri mereka, meski dari sisi kompetensi para ”perintis kemerdekaan” ini boleh jadi tidak seunggul generasi yang lebih muda. Berkat pengalaman dan usia, para ”perintis kemerdekaan” ini sudah lebih matang. Mereka dapat berperan sebagai penghubung antara pendiri dan generasi penerus. Mediasi ini sangat membantu mengurangi gesekan yang mungkin terjadi antara pendiri dan calon penerusnya.

Para ”perintis kemerdekaan” ini bisa berperan tidak hanya dalam fase mempersiapkan pemimpin dari generasi berikutnya tapi juga mendampinginya, katakanlah sebagai penasihat. Posisi ini lebih aman dari konflik dibandingkan dengan misalnya menduduki jabatan struktural dalam perusahaan. Jika para senior ini masih menduduki jabatan struktural dalam perusahaan, ada kemungkinan akan menghambat majunya perusahaan karena faktor usia dan kompetensi serta tidak adanya kemauan untuk berubah. Jika peran penasihat ini dirasa sudah tidak cocok juga, para senior ini dapat ditempatkan pada kegiatan peduli masyarakat melalui nilai-nilai, etika, dan praktik-praktik kehidupan perusahaan yang menyatu di masyarakat.

Jika kompetensi yang dimiliki para ”perintis kemerdekaan” ini masih relevan dengan kebutuhan perusahaan dan perkembangan zaman, maka keberadaan mereka masih dapat dipertahankan. Namun jika tidak, hendaknya tidak langsung disingkirkan dengan cara frontal. Ingatlah bahwa bagaimanapun, mereka turut andil dalam membesarkan perusahaan.

Pihak perusahaan dapat mengurangi beban kerja mereka sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan kejutan. Selanjutnya, perusahaan mempersiapkan pengganti pemimpin dan karyawan-karyawan seniornya. Selama masa pergantian, ”perintis kemerdekaaan” membagi pengetahuan dan pengalaman mereka kepada generasi penerus, yang inisiatifnya dapat diambil oleh generasi penerus seperti terjadi di Sabrina. Jadi, meski memiliki kompetensi lebih tinggi, generasi penerus harus bijak memperlakukan para senior.

Patricia Susanto
CEO of The Jakarta Consulting Group

Related Articles